
Oleh: Wasid Mansyur
Kegiatan Nahdlatus Turost (NT) kali ini dipusatkan di Kudus, mulai tanggal 13 Juli hingga 16 Juli 2025. Berbagai acara telah terjadwal, mulai workshop tentang keturotsan (Workshop Jalantara), launching karya ulama Nusantara, dan seminar nasional.
Acara ini sekaligus menjadi semacam Kick Off Jelajah Turots Nusantara; sebuah kegiatan yang akan direncanakan berkeliling menginisiasi manuskrip-manuskrip ulama nusantara untuk menumbukan kecintaan pada peradaban ilmu, sekaligus agar semakin dapat dinikmati oleh masyarakat luas.
Begitu padatnya acara ini, berbagai pihak telah terlibat ikut mensukseskan; mulai panitia pusat, panitia local Kudus, keluarga besar PCNU Kudus, GP. Ansor-Banser dan lain-lain. Kerja-kerja ini dilakukan tidak lain dalam rangka khidmat terhadap peradaban keilmuan yang pernah ditorehkan oleh para ulama Nusantara melalui temuan manuskrip dari karya-karya mereka.
Dalam konteks ini adalah meneguk mata air keteladanan ilmu dari Syekh Abdul Hamid Kudus. Siapakah Beliau? Dan apa yang perlu untuk diteladani dari Beliau.
Untuk menjawab ini, penulis mengutip kitab “Nasamat al-Unsi fi Riyadh al-Quds”, yang juga dilaunching pada acara ini, walau sebenarnya kitab karya khusus Syekh Abdul Hamid dipilih dengan menghadirkan para ulama Jawa Tengah plus Rais Amm PBNU, yaitu kitab “Fathul Aliyyil Karim”.
Mengapa kitab “Nasamat al-Unsi fi Riyadh al-Quds” dipilih dalam tulisan ini sebab kitab ini yang akan mengantarkan kita untuk menyelami lebih dekat tentang sosok Syekh abdul Hamid Kudus, mengingat kitab ini sengaja disusun oleh Lajnah Turost Ulama Kudus atas bimbingan langsung Syekh Dr. Muhammad Syadi ‘Arbas al-Damasky. Pastinya dengan menggunakan bahasa Arab fusha, bukan Indonesia.
Syekh Abdul Hamid Kudus _ yang lahir pada tahun 1277/1278 H adalah salah satu ulama Nusantara yang keilmuannya sangat matang (baca: ‘Allamah) sebab menguasai banyak ilmu-ilmu keislaman (mutafanin), yang diperolehnya dari beberapa ulama’ kesohor pada zamannya.
Statusnya sebagai mudarris/pengajar di Makkah menambah daftar panjang nama-nama ulama Nusantara yang sukses belajar hingga mengantarkan mereka menjadi guru di masjidil Haram.
Pastinya, era itu iklim intelektualisme, khususnya, masih sangat kondusif, di mana siapapun orangnya asal memiliki kapasitas keilmuan, maka ia akan memiliki posisi yang sama untuk diberi kebebasan menyebarkan ilmunya kepada orang lain, yakni sebagai mudarris.
Dalam ruang seperti ini, interaksi Syekh Abdul Hamid semakin luas, bahkan berbekal kapasitas keilmuannya pula ia sekaligus menjadi pendambing dan pembimbing bagi mereka yang melaksanakan haji atau umroh.
Syekh Abdul Hamid Kudus, sekali lagi, adalah ulama Nusantara. Walau tidak lahir dan wafat di Nusantara sebab lahir dan wafat di Makkah, namun keluarga besarnya adalah orang-orang Nusantara yang dikenal sebagai pencinta ilmu dan pendakwah Islam.
Artinya, apa yang dialaminya tidak lepas dari nilai-nilai luhur para pendahulunya, meskipun secara pribadi harus diakui Ia adalah sosok yang dikenal cerdas, akhlaknya mulia, sekaligus cinta ilmu dan ulama.
Dua Teladan Penting
Ada dua hal penting yang menurut penulis layak kita meneladani dari Syekh Abdul Hamid Kudus.
Pertama, tentang keilmuannya pada ilmu pengetahuan. Ilmu tidak bisa diwariskan begitu saja, tapi harus diusahakan untuk memperoleh siang dan malam, sekaligus disertasi dengan tirakat agar berkah, belajar darinya.
Nasab baik tidak otomatis mengantarkan orang itu alim, jika tidak ada usaha maksimal untuk belajar. Bukankah tidak sedikit anak orang hebat, menjadi tidak hebat karena tidak ada tekad meneladani leluhurnya.
Syekh Abdul Hamid Kudus mengingatkan kepada kita tentang hal ini. Betapa tidak, kondisinya yang selalu haus ilmu menyebabkan hari-harinya lebih banyak dicurahkan untuk mencari ilmu, mengajarkannya hingga menulisnya sampai akhir hayatnya.
Tercatat, ia tidak hanya belajar dari satu guru, tapi dari banyak guru yang dikenal alim pada masanya. Bukan hanya itu, ia tidak hanya belajar di Makkah, tapi juga merantau ke beberapa negara hanya sekedar menimbah ilmu kepada para ulama, sekaligus mencari keberkahan mereka. Karenanya, ia bisa dikatakan sebagai perantau ulung dalam jalan ilmu (lih, 25).
وكان للشيخ عدة رحلات خارج مكة: فرحل إلى المدينة، وبيت المقدس، ودمشق، وبيروت، فأخذ العلم من أعلامهم ونال إجازة عامة من بعضهم كتابة ومشافهة كما طلبه آخرون للإجازة.
“Syekh Abdul Hamid Kudus telah melakukan perantauan (mencari ilmu) di luar Makkah: lantas ia merantau ke Madinah, Baitul Maqdis, Damaskus, dan Beirut. Di tempat ini, ia meneguk ilmu dari para tokoh, sekalihs mendapat ijazah kitab atau ijazah langsung sebagaimana dilakukan oleh yang lain.”
كان فضيلة الشيخ عبد الحميد رحمه الله يكثر من الرحلات العلمية إلى مصر، حيث كان ينهل من معين علمائها الأجلاء، ويستفيد من بحر علومهم الزاخر، فأخذ عن أفاضل علماء الأزهر وإسكندرية، ودمياطـ، و طنطا، ودسوق، والصعيد والبنها، كالعلامة عبد الرحمن الشربيني والشيخ أحمد بن محجوب الرفاعى والشيخ يوسف بن إسماعيل النبهاني.
Syekh Abdul Hamid secara khusus memperbanyak perantauan ilmu sampai ke Mesir dalam rangka meneguk “air” keilmuan dari para ulama yang mulia.
Dari mereka, ia mengambil manfaat ilmu pengetahuan yang melimpah dari para ulama al-Azhar, Iskandarian, Dimyath, Tanta, Dosouk, Hulu Mesir, dan Banha. Beberapa ulama itu adalah Syekh Abd al-Rahman al-Syarbini (Syaikhul Azhar, w. 1326 H), Syekh Ahmad ibn Mahjub al-Rifai (w. 1325 H) dan Syekh Yusuf ibn Ismail al-Nabhani (w.1350 H).
Penjelasan di atas memberikan gambaran betapa Syekh Abdul Hamid Kudus adalah perantau ulung dan tangguh, apalagi ketika itu alat transfortasi menuju satu tempat ke tempat lain tidak semudah sekarang. Tanpa didasari oleh hausnya ilmu, kayaknya tidak mungkin orang susah jauh-jauh mencari ilmu. Bukankah di Makkah, ketika itu juga banyak ulama yang kesohor kealimannya.
Pelajaran ini penting bahwa semakin orang belajar kepada banyak guru, maka akan semakin terbuka wawasan intelektualnya sebab setiap guru memiliki karakter dan penguasaan yang berbeda-beda, termasuk kedalaman spiritualnya.
Di era medsos ini, dengan membaca sosok Syekh Abdul Hamid Kudus kita sedang diingatkan untuk tidak mudah mencari ilmu, sekaligus tidak mudah puas terhadap capaian ilmu yang diperoleh.
Pasalnya, keterpuasaan _apalagi hanya mengutip dari medsos akan memantik tertutupnya wawasan, bahkan pada derajat tertentu akan muncul perasaan paling benar sebab ia tidak akrab dengan wawasan lain dari referensi guru yang berbeda-beda. Jangan pernah puas dalam mencari ilmu agar hidup semakin terbuka lebar, sebagai teladan darinya.
Kedua, Kecintaan pada asal usul leluhur. Syekh Abdul Hamid Kudus lahir dan meninggal di Makkah, tapi ia tidak pernah melupakan asal usul leluhurnya.
Kecintaannya kepada Nusantara dibuktikan dengan hampir selalu menyebut kata “Quds” dalam beberapa manuskrip kita karangannya.
Kata “Quds” ini bukanlah kata yang dinisbatkan dengan “Quds” yang ada di negara lain sebab penyebutan “Quds” selalu diiringi juga dengan penyebutan nama ayahandanya, yakni Syekh Muhammad Ali ibn Abd al-Qadir yang berasal dari Kudus, dan bagian dari Nusantara (baca: Jawa).
Bukan hanya itu, kecintaannya kepada Nusantara dibuktikan juga dengan interaksinya yang kuat dengan ulama-ulama Nusantara, misalnya dengan Kiai Muhammad Toha, Kiai Nawawi Pasuruan dan lain-lain.
Tidak jarang, terjadi proses korespodensi di antara mereka; mulai soal keilmuan hingga hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji dan umroh. Bahwa kepedulian Syekh Abdul Hamid Kudus adalah potret kecintaannya pada asal usul leluhurnya, walau ia tidak terlahir di Nusantara.
Asal usul leluhur bisa dimaknai sebagai asal usul biologis, tapi juga bisa dimaknai sebagai asal usul ideologis sebagai penganut setia Islam ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Kita harus belajar dari Syekh Abdul Hamid Kudus, apapun status kita ketika sukses di luar negeri atau alumni luar negeri.
Pepatah Jawa “aja dadi kacang sing lali kulite” (jangan menjadi seperti kacang yang lupa kulitnya). Maksudnya, jangan pernah melupakan asal muasalnya, hanya karena sombong atas capaian yang diperoleh sebab yang lupa “kulitnya” akan selalu menjadi problem bagi negara. Syekh Abdul Hamid Kudus meneladankan bahwa berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki hubungan batin dengan nasab leluhur sejatinya ia sedang menguatkan nilai-nilai psikologis dan ikatan moral agar tidak menjadi semacam lost generation.
Akhirnya, selamat Kick Off Jelajah Nusantara 2025. Melalui launching karya Syekh Abdul Hamid Kudus, kita diingatkan betapa pentingnya merawat peradaban ilmu. Kedekatan kepada peradaban ilmu yang turut membentuk karakter keberislaman selama, misalnya, akan menyebabkan kesinambungan itu terus terjaga. Kalau ini terjadi, apapun kondisinya kita akan tetap menjadi Muslim yang baik, yakni Muslim yang tahu diri, sekaligus memiliki karakter kebangsaan yang kuat. Semoga.