Artikel Berita Refleksi

Gerakan ‎Nahdlatul Turats: Wajah Otentik Nahdlatul Ulama‎

0
Please log in or register to do it.

Oleh: Mabda Dzikara


‎Aku baru kembali dari Kudus, Jawa Tengah dalam rangka mengambil berkah pada sebuah acara yang mungkin tak banyak orang perhatikan namun sangat mahal untuk dilewatkan: Pameran Intelektual Syekh Abdul Hamid Kudus dan peluncuran program Jelajah Turats Ulama Nusantara yang diselenggarakan oleh para ulama muda di Nahdlatul Turats.

Di sana aku melihat NU yang lain. Sebenarnya sesuatu yang biasa, namun mungkin jarang muncul di algoritma layar ponsel banyak dari kita. Bukan NU dengan shalawat massal yang meriah. Bukan pula NU yang muncul dalam meme-meme lucu Mamah Gufron, polemik politik, atau perbincangan tambang.

Ini NU yang bekerja dalam diam. NU yang duduk tekun di hadapan teks-teks kuno. Men-tahqiq. Menyunting. Menyambung sanad keilmuan. Kerja yang nyaris asketis—dan karena itu tampak asing di zaman ini.

Turats bukan sekadar arsip. Ia adalah ingatan. Dan ingatan adalah identitas. Dari turats, kita belajar bahwa para ulama Nusantara dulu tidak hanya mengajar, memimpin tarekat atau pesantren. Mereka juga membangun horizon intelektual yang luas: fiqh, tafsir, tasawuf, adab, hingga kosmologi.

Peradaban yang melupakan turatsnya kehilangan pijakan. Barat tahu itu. Cina tahu itu. Mereka menjaga naskah, menyunting, menerbitkan ulang dan merelevansikannya. Kita? Terlalu sering sibuk dengan riuh di permukaan.

Maka ketika para cendekiawan muda NU hadir lewat Nahdlatul Turats, mereka sedang melakukan kerja yang mendasar: menyelamatkan warisan intelektual, merumuskan ulang relevansinya, dan memastikan sanad ilmu tetap bersambung.

Wajah NU yang aku temui di Kudus bukanlah organisasi massa biasa. Ia adalah rumah besar ilmu. NU mungkin terasa riuh di permukaan, tapi di kedalamannya ada denyut yang tenang: denyut intelektual.

Hanya saja, algoritma di udara memang terlalu sinis untuk menangkap denyut ini. Media sosial lebih suka sorak-sorai shalawat massal, berita pembubaran pengajian, debat politik yang keras, atau selingan bahasa semut dan kisah keramat yang absurd. Sementara kerja-kerja ilmiah—yang sunyi, memakan waktu bertahun-tahun, dan tidak fotogenik—jarang mendapat ruang.

Padahal di balik itu ada gerakan ilmu yang tidak kalah penting. Para ulama muda NU yang aku temui di Kudus sedang melakukan pekerjaan yang nyaris sunyi: membuka kembali naskah-naskah kuno, men-tahqiq dengan disiplin akademik, menyusun syarah untuk menjelaskan ulang gagasan para ulama Nusantara, lalu menyiapkannya untuk dipublikasikan agar sampai ke generasi baru.

Kerja mereka mungkin tidak berisik. Tidak ada panggung besar, tidak ada sorak-sorai. Tapi justru di sanalah letak keagungannya. Seperti akar yang bekerja diam-diam di bawah tanah, memberi nutrisi pada pohon yang di permukaan tampak megah.

NU memang belum punya rudal. Belum juga membangun bank syariah raksasa atau infrastruktur megah seperti organisasi Islam di beberapa negara lain. Kekurangan itu nyata. Tetapi ada hal yang juga mendasar: ketekunan menjaga ilmu, adab berpikir, dan kesadaran bahwa peradaban hanya bisa bertahan jika fondasi keilmuannya kokoh.

Inilah Nahdlatul Ulama pada wajah aslinya—rumah besar ilmu yang warisannya harus kita rawat bersama. Jika kita ingin melihat Nahdlatul Ulama, maka jangan terlewat untuk melihat ke ruang-ruang kecil di mana para ulama muda ini bekerja dalam hening. Di sana, ada denyut intelektual yang pelan tapi pasti: denyut peradaban.

Dan mungkin, di era yang gaduh ini, kita butuh lebih banyak orang yang berani menunduk dalam-dalam, seperti mereka. Tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjaga api ilmu agar tetap menyala.

Workshop Jalantara Berhasil Preservasi Naskah Kuno Ulama Kudus

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *