Kisah Refleksi

Gus Miek dan Zaman yang Bakhil

1
Please log in or register to do it.

Tiba-tiba saya teringat “Amiin, ya Allah.. Duh Gusti kang melasi, panjenengan moho lumo aris lan mitulungi” yang merupakan kutipan syi’iran dalam Dzikrul Ghofilin karya Gus Miek Ploso Mojo Kediri.

Sosok Gus Miek memang penuh daya pikat, seakan menjadi legenda yang tak lekang zaman. Bagaimana tidak! Beliau dikaruniai Allah beberapa keistimewaan yang kerap disembunyikan. Statusnya sebagai putra ulama besar tidak pernah beliau tunjukkan, tujuannya agar lebih mudah bergaul dan mendengarkan suara hati masyarakat tanpa ada jarak.

Tak jarang beliau melewati pintu belakang tatkala ada acara tertentu untuk menghindari kerumunan orang yang berniat menemuinya.

Dentuman musik jazz dalam Nightclub, Diskotik, Pub, Bar seakan menjadi bagian “lelaku” sosok penggemar rokok Diplomat hitam ini. Hotel Sahid maupun Hotel Elmi adalah dua dari sekian hotel yang pernah disinggahinya.

Bahkan tatkala Gus Miek “kapundut”, ajaibnya beberapa tempat hiburan malam, hotel di Surabaya seketika menjadi sunyi. Tempat-tempat itu ikut berduka atas meninggalnya Gus Miek.

Kedekatan Gus Miek dengan lapisan masyarakat tidak ada sekat, tidak pilah-pilih. Bagi beliau semua  sama-sama memiliki status “mengharap rahmat Allah”.

Dakwah yang dilakoni itu pun penuh resiko, mulai dicibir dan disuudzoni oleh kalangan “putih” hingga dicap sebagai “dukun”. Gus Miek tak bergeming dengan anggapan-anggapan itu.

Laku Gus Miek ini, saya artikan sebagai bentuk dakwah anti mainstream sekaligus kritik kepada para ulama yang berada di menara gading agar peduli terhadap umatnya tanpa pandang bulu serta memperluas radius wilayah dakwahnya, bukan hanya di zona pesantren saja.

Bahkan salah satu ulama Krian, Abah Thoyib Krian pernah mengemukakan: ” Syiar agomo iku ojo nang pondok ae tapi yo metu serawungan lan ngajak wong sing peteng dadi insaf” (syiar agama itu jangan hanya di dalam pondok saja tapi juga kontemplasi keluar bergaul dan mengajak mereka yang “gelap” agar insaf).

Saya pribadi beranggapan Gus Miek berusaha mengenalkan konsep “amar makruf bilmakruf, wa nahyul munkar bilmakruf” (mengajak kebaikan dengan cara yang baik dan mencegah kemungkaran dengan cara yang baik pula).

Jadi, sangatlah wajar jikalau ada yang menilai dakwah Gus Miek tergolong “nyeleneh”. Di saat para “gawagis” digembleng menjadi penerus estafet kepemimpinan pesantren dengan menggelar pengajian kitab, ternyata ada satu gus dengan laku yang “berbeda”.

Terobosan Gus Miek mengajak para “penikmat dunia” tidaklah semudah membalikkan tangan. Rintangan dan tantangan beliau lalui dengan “dodo jembar”. Senyum hangat tetap berkembang tanpa lelah.

Sungguh berat perjuangan dakwah Gus Miek yang oleh sebagian Kiai khos diterjemahkan dengan “hamlul adza  wal balwa” (menanggung resiko berat dan cobaan).

Perlahan namun pasti, satu persatu dari kalangan WTS, Germo, Pecandu, Artis, Seniman bertaubat dan menjadi pengikut setia Gus Miek. Sebut saja ada Ayu Wedayati, Deddy Dores, dan sederet artis beken menunjukkan rasa hormatnya kepada Gus Miek. Ada yang memanggil beliau dengan sebutan papa, om, dukun, gus, kiai dll. Dan hebatnya, Gus Miek tidak terpengaruh oleh ragam sebutan tersebut.

Gus Miek dengan segala kelebihan dan kekurangannya tetaplah sosok yang patut diteladani dari sisi keikhlasannya. Saya pribadi mendapatkan kesaksian bahwa Gus Miek sering “maringi” (memberi) sesuatu kepada yang menginginkan. Semisal, ada seorang santri yang tidak memiliki motor, tiba-tiba Gus Miek menghadiahinya motor. Bahkan pasca “mangkat”nya beliau, khodam ndalem juga dikasih kenang-kenangan di saat Gus Miek masih hidup.

Sungguh keikhlasan Gus Miek bukan isapan jempol belaka. Kehidupan beliau merawat dua dunia sekaligus; dunia putih berisi majelis semaan dan dunia hitam berisi aktor-aktor “kelam” untuk kemudian memperkenalkan bagaimana cara menundukkan kepala dan menekuk kerasnya hati sembari menengadah mengharap pancaran rahmat Allah taala.

Sebagai pamungkas coretan refleksi ini, saya kutip salah satu syiiran arab yang berbunyi:

هيهاتَ لا يأتي الزمانُ بمثلهِ

إنَّ الزمانَ بمثلهِ لبخيلُ

Artinya: “Zaman tidak mungkin datang  seperti sediakala, sebab zaman sangatlah bakhil-pelit untuk mengulanginya

Dari syiiran ini menegaskan bahwa putaran zaman telah melahirkan ratusan tokoh beserta pernak-pernik peristiwa. Ada yang baik untuk dipelajari dan ada yang tidak baik untuk diikuti.

Sifat Wahdaniah dan Anak-anak
KH. Djipang Batokan: Berdiskusi Ilmu ketika Jualan Sayur di Pasar