Sore tadi, tepatnya pukul 16.33, pesan WA dari salah satu pimpinan tempat saya mengajar mengabarkan bahwa saya ditugaskan mengisi materi tentang sifat Wahdaniyah. Katanya ini sudah pertemuan ke enam. Tanpa pikir panjang, segera saya mencari referensi dan bacaan yang berkaitan dengan tema.
Kebiasaan yang sering saya lakukan adalah mencatat poin-poin penting apa yang ingin saya sampaikan. Baik itu sebelum mengajar, saat mengisi acara diskusi, atau membuat materi khutbah. Semua mesti ada catatannya.
Karena bagaimana pun, kegiatan mencatat bagi saya sangat membantu dalam penguatan materi yang akan disampaikan. Secara tidak langsung juga berdampak pada performa kita saat tampil di depan umum.
Memahami Pendengar
Salah satu hal yang sering saya perhatikan betul-betul adalah memahami para pendengar dan hadirin. Bagaimana pun ini kemampuan dasar yang harus terus diasah. Karena yang hadir adalah anak-anak MI dan MTs, maka saya harus memilah bahasa yang sederhana dan tegas. Tegas disini adalah tidak mengandung banyak tafsir. Langsung menuju ke inti. Dan perbanyak contoh yang dekat dengan dunia anak-anak dan remaja.
Saat memulai, saya membukanya dengan bacaan Fatihah. Seperti yang lazim dilakukan di dunia pesantren. Setelah itu, mengajak anak-anak membaca pujian Allah Wujud Qidam Baqa’, atau pujian sifat 20. Ternyata ini memancing antusias anak-anak dan sebagian besar sudah banyak yang hapal.
Sebelum masuk ke sifat Wahdaniyah, saya coba review materi tentang sifat-sifat wajib yang diajarkan sebelumnya. Saya fokuskan dengan dialog, agar suasana tidak bosan. Ternyata beberapa anak masih mengingat. Inilah fungsi penting memahami audiens agar kita tahu beberapa besar daya serap materi yang kita sampaikan nantinya.
Dengan pelan-pelan saya mulai menguraikan makna Wahdaniyah. Sengaja saya tidak masuk terlalu dalam pada pembahasan sifat salbiyah. Bahwa Allah itu Dzat yang esa. Allah tidak butuh terhadap dzat lain. Tidak ada satu makhluk (ciptaan) yang menyerupai Allah. Saya melihat mereka tertarik dengan pembahasan tentang Tuhan, terlihat dari raut muka yang mulai penasaran.
Setelah memberikan penekanan bahwa Allah itu esa. Tidak ada Tuhan selain Allah. Makna kalimat La Ilaha Illa Allahu sebagai bentuk taqdis (penyucian) seorang hamba atas Tuhannya dan intisari dari iman dan tauhid yaitu mengesakan Allah SWT.
Dengan penuh kehati-hatian, karena pembahasan ini rawan sekali disalahpahami, saya mulai masuk pada sifat Wahdaniyah dan cakupannya. Tentu, ketika kita mengimani dan mensifati Allah dengan tunggal. Maka tidak boleh melupakan tiga aspek penting ini yaitu dzat, sifat dan af’al. Ketiga hal ini tidak bisa terlepas dari kemahaesaan Allah.
Melihat audiens yang anak-anak, saya menerangkan panjang lebar pada dzat Allah. Bahwa dzat Allah itu tidak tersusun dari bentuk, tubuh, atom, materi, atau seperti tubuh kita ini. Karena ketika kita meyakini bahwa Allah itu tersusun dari partikel, tubuh, bentuk, maka secara tidak langsung kita terjebak pada menyamakan dzat Allah dengan makhluk. Dan ini adalah mustahil.
Setelah itu pembahasan saya giring pada kita juga tidak boleh menyakini dan membayangkan bahwa Allah memiliki tubuh seperti halnya manusia. Kaidah yang ditawarkan oleh para ulama adalah pikirkanlah tentang ciptaan Allah, jangan berpikir tentang dzat Allah. Agar kita tidak terjebak pada khayalan, pikiran, bahwa Allah itu serupa dengan makhluk. Anak-anak mulai manggut-manggut.
“Jadi nak, Allah itu memiliki dzat. Wajibul wujud. Tapi tidak serupa dengan makhluk. Understand?”
Ternyata, pelajaran penting yang saya ambil adalah berbicaralah sesuai dengan kebutuhan. Pahami pendengarmu jika ingin didengar. Belajar mendengar lebih banyak. Serta biasakanlah mencatat apapun sebagai bekal untuk berbicara. Apalagi jika kaitannya dengan ilmu agama.
Sebelum mengakhiri saya coba merefleksikan ulang pembelajaran tentang sifat Wahdaniyah. Mengambil poin-poin penting. Ibroh dibalik kisah Fir’aun. Dan betapa besarnya jasa para ulama, wali-wali tanah Jawa yang menyebarkan agama Islam dengan membuat pujian-pujian yang dibaca sebelum waktu sholat agar mempermudah umat awam dalam memahami akidah ahlussunah wal jamaah.
Catatan:
1. Kitab yang saya gunakan dalam membuat catatan dan mutolaah adalah kitab Tahdzib Syarah As-Sanusiyah karangan Syekh Said Foudah.
2. Fathul Allam Syarah Mandhumah Aqidatul Awwam. Karangan Syeikh Hisyam Kamil. Semoga Allah menjaga keduanya.