KH. Muhammad Tholhah atau populer dikenal KH. Djipang bin KH. Fadil Batokan Kediri ini sepupu KH. Ihsan bin Dahlan Jampes. Dalam banyak kisah KH. Djipang pernah berdebat dengan Syekh Masduqi Lasem perihal kitab Sirojut Tholibin yang dianggapnya banyak kesalahan. Syaikh Masduqi mengkritik kitab Sirojut Tholibin.
KH. Djipang pun berkunjung ke Lasem dengan cara menyamar sebagai bakul pisang. Sesampainya di kediaman Syaikh Masduqi, KH. Djipang berdebat hingga tiga jam tentang kitab tersebut. Syekh Masduqi kemudian menerima (taslim) dan mengakui kealiman KH. Djipang.
Secara silsilah, KH. Djipang termasuk cucu KH. Sholeh Banjarmlati dari jalur ibunya. Mengingat Kiai Fadil Batokan merupakan salah satu menantu KH. Sholeh Banjarmlati.
Sekedar informasi, para menantu KH. Sholeh Banjarmlati rata-rata ulama besar pada masanya, sebut saja di antaranya: KH. Abdul Karim Lirboyo, KH. Dahlan Jampes, KH. Makruf Kedunglo, KH. Manshur Kalipucung Blitar.
KH. Djipang menurut informasi salah satu cucunya lahir kira-kira tahun 1897 dari ibu yang bernama Nyai Anjar binti KH. Soleh Banjarmlati. KH. Djipang menikahi Nyai Titimmatun yang merupakan putri dari pamannya sendiri, yakni KH. Mansur Kalipucung Blitar.
Keseharian KH. Djipang kadang terlihat berjualan sayur di pasar dengan menenteng keranjang dan caping petani. Menurut kisah salah satu keluarga Batokan. Beliau pernah dicari KH. Ahmad Djazuli Ploso (1900-1976). Kebetulan KH. Djipang sedang jualan sayur di pasar.
Setelah keduanya bertemu, KH. Ahmad Djazuli dan KH Djipang langsung berdiskusi, membicarakan tentang masail fiqhiyah hingga tuntas. Tak heran bila kedua ulama ini dikenal sebagai pecinta ilmu yang berprinsip pada toriqah ta’lim watta’llum.
Dari sekelumit kisah KH. Djipang di atas dapat dipahami bahwa Kiai Djipang adalah tipikal kiai alim yang egaliter, suka berdiskusi, tidak mudah gengsi, memiliki prinsip hidup yang kuat, dan mencintai ilmu hingga akhir hayat.
Inti dari kisah di atas bila dikontekstualisasikan di masa sekarang, maka tradisi klarifikasi, berdiskusi ilmu, bermusyawarah, meminta saran dan pendapat di antara para ulama harus dibangkitkan kembali. Sebab tradisi tersebut bagian dari menjaga keberlangsungan keilmuan pesantren.